Ilmu Falak Era Heliosentris
02.26 | Author: Hasan Al Faraby


Pendahuluan
Di malam yang cerah, hiburlah dirimu sendiri dengan pertunjukan gratis terbesar di bumi kita. Lihatlah ke atas langit, Kamu akan melihat pertunjukan yang sangat mempesona. Ribuan bintang berkilauan laksana permata di atas kain bludru hitam. Kamu mungkin akan tergoda untuk menyanyikan lagu masa kecil, “bintang kecil di langit yang biru. Amat banyak menghiasi angkasa”.[1] Jika kita meninjau keberadaan bumi ini, pasti akan terlinas di pikiran kita tentang keajaiban dan hal-hal yang tersembunyi di balik ciptaan Sang Mahakarya.
Alam kita menyajikan banyak hal menarik serta menimbulkan banyak pertanyaan. Dimulai dari bagaiman alam ini tercipta, apa yang menyebabkan bintang bercahaya, mengapa planet terus berputar, serta apa yang menjadi pusat peredaran benda-benda langit, dan masih banyak lagi hal-hal yang belum dapat tersingkap oleh penglihatan dan pengetahuan kita. Sehingga keberadaan berbagai problema yang kompleks memebuat para astronom ingin mencoba untuk mencari tahu dan meneliti berbagai hal tersebut.
Sebenarnya hal semacam itu bukan masalah baru dikalangan manusia, sebab pencarian dan pemikiran untuk menggali ilmu dan hal-hal yang tersembunyi dibalik penciptaan alam semesta ini, seperti yang diungkapkan di atas, para astronom barat yang diwakili dari Polandia, Yunani, dan Negara barat lainnya berusaha untuk menemukan jawaban atas itu semua, begitupula para astronom timur.
Sehingga setelah usaha keras yang bertahun-tahun mereka lakukan, banyak terlahir teori-teori baru yang mengungkap berbagai hal yang dulunya belum diketahui kemudian dengan ditemukannya teori tersebut dapat terungkap berbagai hal yang mengganjal tersebut, walaupun keberadaan teori tersebut dinilai masih relatif kebenarannya. Tapi tidak dipungkiri berkat pemikiran mereka, kita mampu untuk membuka wacana baru bagi keilmuan yang selama itu buntu tak dapat diutarakan jawaban yang pasti dan rasional.
Pembahasan
A.    Definisi
Konsep manusia mengenai apa yang dimaksud dengan alam semesta telah berubah secara radikal sepanjang zaman. Pada mulanya mereka meletakkan manusia sebagai pusat alam semesta (egosentris), kemudian mereka menemukan teori baru bahwa bumi adalah pusat alam semesta (geosentris). Selanjutnya, mereka mengetahui bahwa bumi hanyalah sebuah planet, dan yakin bahwa mataharilah adalah pusat alam semesta. Kemudian, mereka menyadari bahwa matahari hanyalah bintang biasa yang merupakan anggota dari sebuah gugusan bintang yang disebut galaksi dan galaksi inilah yang merekasebut alam semesta. Setelah itu, mereka menemukan lagi bahwa galaksi hanyalah satu daei sedemikian banyak galaksi yang membentuk alam semesta. Kenyataan inilah yang kita yakini hingga saat ini.[2]
B.     Sejarah Pertumbuhan Teori Heliosentis
Sebenarnya fenomena langit telah diteliti sejak zaman kuno oleh orang-orang Cina, Mesopotamia, dan Mesir. Tetapi astronomi sebagai ilmu, baru berkembang pada zaman Yunani, yaitu pada abad VI. Pada zaman ini, ada dua teori  mengenai peredaran planet-planet, yaitu teori geosentris dan teori heliosentris, dimulai teori geosentris pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles pada tahun 384-322 SM. dan teori heliosentris dikemukakan oleh Aristarchus pada abad 3 SM. Kedua teori ini saling bersaing pada masa tersebut.
Bapak astronomi Yunani dimulai oleh Thales pada abad VI SM. yang berpendapat bahwa bumi berbentuk datar. Dan meramalkan terajdinya gerhana pada 585 SM.[3]  Walaupun pada abad yang sama, ada seorang ilmuwan yang mengetaui bahwa bumi berbentuk bulat (phytagoras). Akan teteapi terobosan penting yang pertama dalam astronomi dilakukan oleh Aristoteles dua abad kemudian. Dia mengemukakan bahwa bumi berbentuk bulat dengan didukung sejumlah bukti ilmiah.ia juga berpendapat bahwa pusat jagat raya ini adalah bumi.
Aristarchus berpendapat bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta (geosentris). Akan tetapi dia juga menyatakan bahwa bumi berputar dan beredar mengelilingi matahari yanag merupakan pusat gerak langit (heliosentris).Inilah awal munculnya teori heliosentris. Namun teori ini tidak mendapat posisi keilmuwn pada zaman itu disebabakan oleh kurangnya pendukung. Walaupun ada beberapa tokoh yang menentang teori Ptholomeus (geosentris), sebenarnya lebih dari 13 abad konsep geosentris diterima oleh masyarakat dunia. Baru pada tahun 1512 M ( abad XVI M), Nicholas Copernicus membuka sejarah baru dengan menegemukakan bahwa benda- benda langit meneglilingi matahari dengan orbit lingkaran ( heliosentris). Mulai abad inilah teori heliosntris diterima oleh masyarakat dunia.
Teori Copernicus ini muncul dengan berbagai macam tantangan. Sampai-sampai Copernicus dianggap murtad oleh pemuka gereja dan dianggap tidak waras oleh banyak kalangan ilmuwan karena telah melanggar dogma gereja dan dogma ilmu pengethuan.[4] Dia juga mengatakan bahwa bumi mengelilingi matahari pada tahun 1543 M. sistem ini dalam bahasa inggris disebut heliocentric dan dalam bahsa arab disebut mukhtash bimarkazasy-syams.[5]
C.    Tokoh-tokoh Teori Heliosentis
Berbicara mengenai tokoh dalam teori heliosentris, maka akan kami mengemukakannya yaitu:
1.      Aristarchus
Dia berasal dari Samos (sekitar 250 SM) merupakan orang pertama yang tegas menyebutkan bahwa bumi bulat dan merupakan ahli astronomi klasik Yunani yang pertama kali menemukan tentang system heliosentris.
Dia berani mengemukakan pandangannya yang berbeda dari tokoh sebelum dia yaitu tentang bumi itu merputar dan mengelilingi matahari yang merupakan pusat gerak langit.
2.       Nicolas Copernicus
Nicolas Copernicus (1473-1573 M) lahir pada tanggal 19 pebruari 1473 dan orang yang pertama kali menyatakan secara terang-terangan bahwa matahari merupakan pusat tata surya dengan menerbitkan bukunya yang berjudul  “De Revolusionibus Orbium Colestium”. Dalam buku tersebut dia mengemukakan ada suatu fakta yang telah dia ketahui yaitu bumi berputar pada sumbunya (rotasi) dan bersama-sama planet-planet lain mengelilingi matahari.   
3.      Tycho Brahe
Tycho Brahe (1546- 1601) berasal dari Denmark, dia banyak merancang alat-alat Astronomi yang besar belum pernah dibangun oleh Astronom sebelumnya. Sebenarnya masih banyak lagi tokoh-tokoh yang  berperan dalam teori Heliosentris, seperti Johannes Kippler dan Galeleo Galilei.
D.    Perspektif Agama dan Masyarakat Terhadap Teori Heliosentis
Kalau menurut persfektif ilmu alamiah mungkin teor ini dapat dikatakan sebagai sutu kemajuan yang pesat, sebaba kalaui menurut prsfektif ilmu pengetahuan selama suatu teori itu dapat dipertanggungjawabkan dan memenuhi criteria disahkanlah suatu teori, maka hal itu dianggap sutu hal yang wajar dan biasa untuk ditolerir. Suatu pernyataan mengenai pengetahuan atau hal-hal yang ilmiah itu secar ateoori dikatakan kebenaran dan kevalidannya itu hanya bersifat realtif tidak benar semata.
Tapi dalam persfektif yang lain yakni agama (gereja) pada saat itu, mereka seakan memepunyai kekuasaan penuh untuk menyatakan dan membuat seagalanya. Singkat kata, para pihak gerejalah yang mampu untutk menetapkan terhadap teori yang dikemukakan oleh Nicholas Copernicus mengenai teori barunya nag berbeda denagan pihak gereja (paham teori geosentris).
Kebenaran teori Heliosentris itu dianggap telah menyalahi dan menentang kepercayaan gereja, yang mana suadh turun terjangkit pada diri orang-orang gereja..Sehingga ketika mendengar ada sesuatu yang baru maka, respon yang pertama klai dilontarkan adalah sikap penolakan dan penindakan secara tegas kepada orang-orang yang ingin mengikuti dan mempercayai teori baru tersebut.
Salah satu hal yang harus kita ketahui bersana yakni tentang kebenaran atau kesalahan suatu teori itu dalam pandangan para ilmuwan. Bahwa semuanya itu merupakan panangan yang bersifat relative. Sehingga orang bart sendiri yang merupakan pendukung teori geosentris maupun heliosentris dianggapnya hanya sekedar teori yang kevalidannya masih perlu penelitian lebih lanjut.  
Penutup
Demikianlah makalah simple ples sederhana ini kami buat dengan susah payah. Ibarat “tak ada gading yang tak  retak”, sebagai manusia biasa , kami pun menyadari bahwa banyaknya kekurangan dan atau kesalahan yang terdapat pada makalah ini. Disamping adanya kelebihan yang datangnya hanya dari tuhan sang mahakarya, Allah swt. Oleh karena itu kritik dan saran kontruktif dari pembaca kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penyusun dan umumnya bagi kita semua. amin
Daftar pustaka
Nasution, Hakim Pengantar ke Filsafat Sains, Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa, 1989
Herrod, Robbin,  Bengkel Ilmu Astronomi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.
Azhari, Susiknan, Ensillopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.


[1] Robbin Herrod, Bengkel Ilmu Astronomi, 2005, Jakarta: Penerbit Erlangga, hal. 6
[2]Lop. Cit. hal. 8
[3] Robbin kerrod.lop.cit.hal.34
[4] Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains,1989, Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa, hal. 129 
[5] Susiknan Azhari, Ensillopedi Hiasab Rukyat, 2008, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, hal. 193

Sistem Penanggalan Hijriyah Metode Hisab Hakiki
02.22 | Author: Hasan Al Faraby

Sistem Penanggalan Hijriyah
Metode Hisab Hakiki

Pendahuluan
Demi mengikuti perkembangan zaman bahkan sejak dahulu kala manusia telah menjadikan patokan waktu sebagai sebuah hal yang sangat urgen, bagaimana tidak dalam menjalankan kewajibannya manusia khususnya umat islam yang dituntut untuk melakukan ibadah sesuai dengan waktu yang telah di tentukan oleh Allah Swt. Oleh karena itu umat islam  membuat sebuah penanggalan untuk mempermudah kehidupan mereka yang disebut dengan kalender hijriyah. Nama ini didasarkan pada sejarah  awal kemunculan penanggalan ini, yakni perhitungannya yang dimulai sejak  Rasulullah Muhammad SAW dan para shahabatnya berhijrah dari Makkah ke Madinah.[1]
            Kalender hijrah menggunakan sistem perhitungan bulan (qamariyah), yang ditandai dengan  munculnya bulan sabit (Arab, al-hilal, ahillah). Berbeda dengan kalender Masehi yang menggunakan dasar perhitungan sistem matahari (syamsiyah). periode dari bulan sabit ke sabit berikutnya disebut satu bulan. Lamanya 29,5 hari. Satu hari kalender hijrah, dihitung dari waktu matahari terbenam sampai terbenam lagi hari esoknya. Satu tahun qamariyah terdiri atas 354 hari 8 jam 48 menit, dengan hadirnya 12 kali bulan sabit, yang kembali ke fase baru disempurnakan 354,36708 hari. Kelebihan 0,36708 hari dijumlahkan 30 tahun ada 11 hari. Artinya, tahun qamariyah lebih pendek 11 hari dibandingkan tahun syamsiyah.



A.    pengertian
1.      Hisab Hakiki
Hisab hakiki adalah sistem penanggalan yang berpedoman pada pergerakan real bulan. Sistem ini dikategorikan sebagai sistem penanggalan astronomical calendar, karena didasarkan pada realitas fenomena astronomi yang terjadi. Jumlah hari setiap bulannya tidak bersifat tetap atau konstan namun bukan pula tidak beraturan akan tetapi tergantung pada posisi hilal yang sebenarnya pada akhir suatu bulan.[2]
Inilah bagian di antara karakteristik takwim hijriah yang berdasarkan hisab hakiki dan yang membedakannya dengan penanggalan yang berdasarkan pada hisab urfi. Takwim hijriah yang berdasarkan hisab hakiki inilah yang disepakati oleh para ulama untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan ibadah dalam Islam.
2.      Definisi Hisab Kontemporer
            Hisab kontemporer atau hisab hakiki tadqiqi merupakan suatu sistem hisab yang menggunakan perhitungan dengan berdasar pada data-data astronomi modern. Sistem hisab ini menggunakan hasil penelitian terakhir dan menggunakan matematika yang telah dikembangkan. Metodenya sama dengan metode hisab hakiki tahqiqi. Hanya saja sistem koreksinya lebih teliti dan lebih cermat, seperti dengan memperluas dan menambahkan koreksi-koreksi pada gerak bulan dan matahari dengan rumus-rumus spherical trigonmetri (segitiga bola)[3]
B.     sejarah perkembangan
1.    Sejarah Penanggalan Hijriyah
            Pada awalnya yang mengusulkan perlunya Kalender Muslimin adalah Ya’la bin Umayyah, gubernur Yaman masa Khalifah Abu Bakar al-Shidiq, tetapi belum dapat diwujudkan. Gubernur Basrah (Irak), Abu Musa al-Asy’ari mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Khathhab, “Kami telah menerima banyak surat dari Amir al-Mu’minin, dan kami tidak tahu mana yang harus dilakukan. Kami telah membaca satu perbuatan yang bertanggal Sya’ban, tetapi kami tidak tahu Sya’ban mana yang dimaksudkan (Sya’ban sekarang atau Sya’ban yang akan datang?), agar tidak terjadi persoalan semacam ini lagi maka diciptakanlah penanggalan hijriyah. Atas usul Ali bin Abi Thalib maka penanggalan hijriyah dihitung dari tahun yang di dalamnya terjadi hijrahnya Nabi dari mekah ke madinah. Dengan demikian keberlakuan penanggalan hijriyah tersebut diberlakukan mundur sebanyak 17 tahun.[4]
            Pada awalnya terjadi perselisihan terhadap penentuan awal penanggalan ini. Untuk memutuskan keberadaan dan kapan pantasnya penanggalan ini diberlakukan, para sahabat bemusyawarah pada hari Rabu tanggal 20 Jumadil awal tahun 17  H. Dalam perundingan tersebut sebenarnya terdapat beberapa option yang bisa dijadikan patokan awal tahun hijriyah, seperti tahun kelahiran nabi dan saat beliau diangkat menjadi rasul, namun para sahabat bersepakat menetapkan awal tahun  hijriyah adalah tahun dimana di dalamnya terdapat peristiwa hijrahnya nabi dari mekah ke madinah. Kemudian para sahabat juga menetapkan bulan muharram sebagai awal dari tahun hijriyah karena pada bulan inilah orang arab pulang dari berhaji.[5]
2.    Sejarah Metode Hisab
            Kendati sama rnengacu pada perhitungan siklus peredaran Bulan mengelilingi Bumi, tetapi dalam implementasinya dikenal adanya dua sistem hisab dalam penyusunan kalender qamariyah, yakni Hisab Urfi dan Hisab Hakiki.
a.Hisab Urfi
            Dalam sistem Hisab Urfi, kalender qamariyah disusun berdasarkan masa peredaraan rata-rata Bulan mengelilingi Bumi, yakni 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (masa yang berlalu di antara dua ijtimak yang berurutan, atau satu bulan Sinodis). Berdasarkan perhitungan ini, maka satu tahun (12 bulan) dihitung sama dengan 354 hari 8 jam 48 menit 36 detik (354 11/30 hari).
            Karena terdapat angka pecahan sebesar 11/30 hari, maka untuk menghilangkannya sistem ini membuat siklus 30 tahunan dalam kalender qamariyah yang terdiri dari 19 tahun Basitah (354 hari) dan 11 tahun Kabisat (355 hari). Tahun-tahun Kabisat (tahun panjang) dalam siklus 30 tahun tersebut jatuh pada urutan ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, 29. Umur bulan dalam sistem ini dibikin tetap, yakni 30 hari untuk buJan-bulan ganjil dan 29 hari untuk bulan-bulan genap (kecuali bulan ke 12 pada tahun-tahun Kabisat berumur 30 hari).
            Dengan sistem ini, awal bulan-bulan qamariyah di segenap belahan Bumi akan selalu jatuh pada hari yang sama. Tetapi karena mengesampingkan variabel penampakan hilal, maka dalam kerangka penentuan waktu untuk pelaksanaan hukum syari'at- sistem ini tidak banyak dianut oleh kaum muslimin.

b. Hisab Hakiki
Dalam sistem Hisab Hakiki, kalender qamariyah disusun berdasarkan masa peredaraan Bulan yang sebenarnya (hakiki). Karena itu, panjang masa yang berlalu di antara dua ijtimak berurutan (satu bulan sinodis) tidak selalu sama setiap bulan. Kadang hanya 29 hari lebih 6 jam dan beberapa menit, dan kadang sampai 29 hari lebih 19 jam dan beberapa menit. Berkaitan dengan ini, maka umur bulan yang selalu tetap seperti dalam Hisab 'Urfi tidak dikenal dalam sistem ini. Boleh jadi 29 hari berturut-turut, atau 30 hari berturut-turut.
            Dalam praktiknya, sistem ini menyusun kalender dengan memperhitungkan posisi Bulan. Karena itu untuk penentuan waktu-waktu ibadah sistem Hisab Hakiki ini banyak dianut oleh kaum muslimin. Berbagai metode hisab banyak dikembangkan pada alur sistem ini. Dari segi akurasinya, metode-metode hisab tersebut lazim dikategorikan menjadi tiga, yakni Taqribi, Tahqiqi dan Kontemporer.
1.      Metode hisab hakiki Taqribi
menentukan derajat ketinggian Bulan pasca ijtimak berdasarkan perhitungan yang sifatnya kurang-lebih, yakni membagi dua selisih waktu antara saat ijtimak dengan saat terbenam Matahari. Metoda hisab Sullamun Nayyirain, Fathur Rauf al-Mannan dan sejenisnya dipandang masuk dalam kategori ini.
2.      Metode hisab hakiki Tahqiqi
 menentukan derajat ketinggian Bulan pasca ijtimak dengan memanfaatkan perhitungan ilmu ukur segitiga bola. Metoda hisab Badi'atul Mitsal, Khulashatul Wafiyah dan sejenisnya dihitung masuk dalam kategori ini.
3.      Metode hisab hakiki kontemporer
 sama dengan Tahqiqi dalam cara menentukan derajat ketinggian Bulan. Bedanya, hisab Kontemporer mengacu pada data astronomis yang selalu diperbaharui atau dikoreksi dengan penemuan-penemuan terbaru. Metode hisab Jean Meus, Almanak Nautika dan sejenisnya dianggap masuk dalam kategori ini.
Perbedaan hasil penentuan awal bulan sangat riskan terjadi karena disebabkan oleh beberapa factor yakni; Pertama, karena perbedaan akurasi perhitungan antara metode-metode hisab Taqribi, Tahqiqi, dan Kontemporer itu tadi. Kedua, karena perbedaan pandangan mengenai acuan penentunya apakah ijtimak (konjungsi) sebelum terbenam Matahari, atau posisi Bulan di atas ufuk secara mutlak, ataukah posisi Bulan di atas ufuk yang telah memenuhi syarat imkan rukyah (visible). Ketiga, karena perbedaan posisi tempat di berbagai belahan Bumi (perbedaan matla')[6]





C.    penanggalan hijriyah berdasarkan hisab hakiki
Sistem penanggalan hijriah yang biasa dijadikan acuan dalam hal ibadah adalah kalender yang berdasarkan perhitungan metode hisab hakiki. Hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Berikut ini kita akan melihat beberapa konsep yang terkait dengan penanggalan Islam yang berdasarkan hisab Hakiki:
1. Umur Bulan
Menurut sistem ini umur bulan tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.
Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam sistem penetapan kalender urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu.
Kalender hijriah dikategorikan sebagai sistem penanggalan astronomical calendar, karena didasarkan pada realitas fenomena astronomi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan kalender masehi yang hanya didasarkan pada aturan numerik (rata-rata perhitungan fenomena astronominya), sehingga disebut juga dengan aritmathical calendar.

2. Permulaan Hari
Dalam kalender hijriah, sebuah hari atau tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari setiap harinya. Penentuan awal bulan bulan baru ditandai dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib setelah terjadinya konjungsi atau ijtimak. Ketika masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang baru, terjadinya pergantian tanggal dan sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya.
Dalam ilmu astronomi, pergantian atau permulaan hari berlangsung saat posisi Matahari berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00 malam. Ini yang dijadikan patokan dalam kalender yang berbasiskan peredaran Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian atau permulaan hari dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat terbenamnya Matahari.
Penanggalan hijriah yang berdasarkan atas astronomical fenomena ini tidak mengenal tahun kabisat yang berjumlah 11 tahun dalam setiap 30 tahun satu daur sebagaimana yang terdapat dalam penanggalan Qamariah yang berdasarkan hisab urfi. Inilah penanggalan atau kalender hijriah yang didasarkan pada perhitungan hisab hakiki yang berbeda dengan kalender yang didasarkan pada perhitungan  hisab urfi.
3. New Month (Bulan Baru)
Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya pada posisi hilal.
KH Noor Ahmad SS menyatakan ijtimak konjungsi iqtiran pangkreman yaitu apabila Matahari dan Bulan berada pada kedudukan/bujur astronomi yang sama. Dalam astronomi dikenal dengan istilah konjungsi (conjunction) dan dalam bahasa Jawa disebut pangkreman. Ijtimak dalam ilmu hisab dikenal juga dengan istilah ijtimak an-nayyirain.[7]
Dalam kitab Nur al-Anwar dijelaskan bahwa ijtimak itu adakalanya terjadi setelah Matahari terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum matahari terbenam. Ijtimak setelah Matahari terbenam, posisi hilal masih di bawah ufuk dan pasti tidak dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam ada tiga kemungkinan, yaitu:
a. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan mungkin bisa dirukyah.
b. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan tidak mungkin bisa dirukyah
c. Hilal belum wujud di atas ufuk/masih di bawah ufuk dan pasti tidak mungkin bisa dirukyah.[8]
Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak.
Sedangkan kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai.
Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset. Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung.
4. Hilal
Hilal (bulan sabit pertama yang bisa diamati setelah konjungsi) digunakan sebagai penentu waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Nampaknya karena alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan inilah kelebihan tahun Kamariah. Ini berbeda dengan kalender Syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya.
            Pendefinisian hilal bisa beragam karena ia merupakan bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu definisi yang komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian prosen. Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal terkait dengan penentuan awal bulan (new month). Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok atau ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah (imkanu rukyah) menurut sebagian kelompok yang lain, maka esok harinya adalah tanggal satu bulan yang baru.

LANGKAH-LANGKAH DAN CONTOH HISAB HAKIKI SISTIM EPHEMERIS UNTUK AWAL SYAWAL 1433 H.
DENGAN MARKAZ MENARA MASJID AGUNG
JAWA TENGAH
(BT. 1100 26’ 38”, f = -60 59’ 23”, h = 95 M)

A. Lakukan konversi dari Hijriyah ke Masehi 29 Ramadhan 1433 H. dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Sampai dengan akhir Zulhijjah 1432H.
1432 : 30 = 47 DH = 47 x 10631 = 499.657h
sisanya = 22 tahun = 22 x 354 + 8 (k) = 7.796h
2. . Akhir Zulhijjah 1437 H. s/d. 29 Rmdh. 1432 H. = 265h
Jumlah = 507.718h
3. Perbedaan Hijriyah – Masehi = 227.012 h +
Jumlah = 734.730h : 1461
4.. = 502 DM. ( 502 x 1461 ) = 733.422h -
sisa = 1.308h : 365
5. = 3 th M ( 3 X 365 ) = 1.095h -
sisa = 213h
6. Tahun 1 M + 502 x 4 + 3 th = Th. 2012 M.
7. Anggaran Consili dan Gregorius ( 3+10 + 3 ) = 16h +
Jumlah = 229h : 30
8. = 7 (Juli 2012) jumlah hari akhir Juli 2012 M = 213h-
sisa = 16h
9. = sisa 16 adalah 16 Agustus 2012 M.

Berarti menurut Hisab Urfi 29 Ramadhan 1433 H. bertepatan hari Kamis Pahing tanggal 16 Agustus 2012 M.
Hari dan pasarannya adalah Kamis Pahing (pengecekan dengan tabel Almanak Sepanjang Masa-oleh Slamet Hambali). Antara hisab urfi dengan hisab hakiki kadangkala bersamaan kadang kala mendahului satu hari
B. Menentukan terjadinya ijtima’ akhir Ramadhan 1433 H. yang diperkirakan terjadi antara tanggal 16 atau 17 Agustus 2012 M. Dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Perhatikan Fraction Illumination (cahaya bulan) terkecil dari Ephemeris 2012 pada bulan Agustus, pada tanggal 16 dan 17 Agustus 2012 M. Cahaya bulan terendah diperoleh pada tanggal 17 Agustus 2012 M. pk. 15 GMT, pk. 16 GMT dan pk. 17 GMT. yaitu 0,00191 kemudian 0.00190 dan 0.00192 Setelah itu perhatikan Ecliptic Longitude Matahari (EL) dan Apparent Longitude Bulan (AL) pada jam-jam tersebut dan pilih yang cocok, yaitu yang pertama AL harus lebih kecil dari EL dan yang kedua AL harus lebih besar dari EL. Dalam hal ini ternyata ijtima’ terjadi antara pukul 15 GMT dan 16 GMT atau antara pk.22 WIB dan pk. 23 WIB.
JAM GMT EL AL
15 1450 06’ 02” 1440 36’ 59”
16 1450 08’ 26” 1450 10’ 36”
Kemudian lakukan interpolasi dengan rumus sebagai berikut:
IJTIMA’ = J1 + ((EL1 – AL1) ¸ ((AL2 – AL1) – (EL2 – EL1)))
= pk. 15 + ((1450 06’ 02”– 1440 36’ 59”) ¸ ((1450 10’ 36” - 1440 36’ 59”) – (1450 08’ 26” - 1450 06’ 02”)))
= pk. 15. 55. 50.13 GMT + 7j
= pk. 22. 55. 50.13 WIB
Berarti IJTIMA’ akhir Ramadhan 1433 H. terjadi hari Jum’at Pon, tanggal 17 Agustus 2012 M. pk. 22. 55. 50.13 WIB
C. Menentukan terbenam Matahari di Menara Masjid Agung Jawa Tengah pada tanggal 29 Ramadhan 1433 H./17 Agustus 2012 M. dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Hitung tinggi Matahari saat terbenam ( h0 ) dengan rumus:
h0 = - ( ku + ref + sd )
ku adalah kerendahan ufuk dapat diperoleh dengan rumus:
- ku = 00 1’.76 Ö h
= 00 1’.76 Ö 95 m
= 00 17’ 09,26
- ref = 00 34’(refraksi/pembiasan tertinggi saat ghurub)
- sd = 00 16’ semi diameter matahari rata-rata.
h0 = - ( ku + ref + sd )
= - ( 00 17’ 09”.26 + 00 34’ + 00 16’ )
= - 10 7’ 9,26’’
2. Tentukan deklinasi matahari ( d0 ) dan equation of time ( e ) pada tanggal 29 Ramadhan 1433 H./ 17 Agustus 2012 M. saat ghurub di Menara Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang dengan prakiraan (taqriby) maghrib kurang lebih pk. 18 WIB ( 11 GMT ), diperoleh:
d0 = +130 12’ 26” dan e = - 00j 3m 59d.
3. Tentukan sudut waktu matahari (t0) prakiraan (taqriby) saat terbenam dengan rumus:
Cos t0 = sin h0 ¸ cos fx ¸ cos d0 - tan fx tan d0 .
= sin -10 7’ 9,26 ¸ cos -60 59’ 23” ¸ cos 130 12’ 26”– tan-60 59’ 23”x tan 130 12’ 26”
t0 = 890 30’ 34,69”
= +5j 58m 2,31”
4. Terbenam matahari = pk. 12 + (+5j 58m 2,31d)
= pk. 17. 58. 2,31 WH – e + ( BTd –BTx )
= pk.17. 58.2,31 – (-00j 3m 59d) + (1050-1100 26’ 38”):15
= pk. 17. 40. 14,78 WIB.
5. Tentukan deklinasi matahari ( d0 ) dan equation of time ( e ) pada tanggal 29 Ramadhan 1433 H./ 17 Agustus 2012 M. saat ghurub di Menara Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang yang sesungguhnya (hakiki), yaitu pk. 17. 40. 14,78 WIB dengan melakukan interpolasi sebagai berikut:
6. Deklinasi matahari ( d0 ) pk. 17. 40. 14,78 WIB. dengan rumus :
d0 = d01 + k (d02 -d01 )
d01 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = +130 13’ 14”
d02 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = +130 12’ 26”
k ( selisih waktu ) = 00j 40m 14.78d
d( = +130 13’ 14”+ 00j 40m 14.78d x (130 12’ 26”- 130 13’ 14”)
= +130 12’ 41,8”
7. Equation of Time ( e ) pk. 17. 40. 14,78 WIB. dengan rumus:
e = e1 + k (e2 - e1 )
e1 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = - 00j 03m 60d
e2 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = - 00j 03m 59d
k ( selisih waktu ) = 00j 40m 14.78d
e = -00j 03m 60d + 00j 40m 14.78d x (- 00j 03m 59d –(-00j 03m 60d))
= -0j 03m 59,33”
8. Tentukan sudut waktu matahari ( t0 ) sesungguhnya ( hakiki ), saat terbenam dengan rumus:
Cos t0 = sin h0 ¸ cos fx ¸ cos d0 - tan fx tan d0 .
= sin-10 7’ 9,26” ¸ cos -60 59’ 23” ¸ cos 130 12’ 41,8” –
tan-60 59’ 23” x tan 130 12’ 41,8”
t0 = 890 30’ 32,72’’
= +5j 58m 2,18 d
9. Terbenam matahari = pk. 12 + (+5j 58m 2,18 d )
= pk. 17. 58. 02,18 WH – e + ( BTd –BTx ) : 15
= pk. 17. 58. 02,18 – (-0j 03m 59,33”) + (1050-1100 26’ 38” ) : 15
= pk. 17. 40. 14,98 WIB.
D. Menghitung Azimuth Matahari ( Az0 ) saat ghurub pk. 17. 41. 50 Wib ( pk. 10. 41. 50 GMT ) dengan rumus:
Cotan A0 = tan d0 cos fx : sin t – sin fx : tan t0.
= tan 130 12’ 41,8”x cos -60 59’ 23” ¸ sin 890 30’ 32,72’’ – sin -60 59’ 23” ¸ tan 890 30’ 32,72’’
A0 = 760 49’ 33,8’’ ( UB )
Azimuth Matahari ( Az0 ) = 3600 - 760 49’ 33,8’’
= 2830 10’ 26,2”
E. Menentukan Right Ascension Matahari (ARA0) pk.17.40.14,98 WIB (pk. 10. 40. 14,98 GMT ) dengan rumus interpolasi sebagai berikut:
ARA0 = ARA01 + k ( ARA02 – ARA01 )
ARA01 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = 1470 11’ 01”
ARA02 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = 1470 13’ 21”
k ( selisih waktu ) = 00j 40m 14,98d
ARA0 = 1470 11’ 01” + 00j 40m 14,98d x (1470 13’ 21” - 1470 11’ 01”)
= 1470 12’ 34,9”
F. Menentukan Right Acsension Bulan ( ARA( ) pk. 17.40.14,98 WIB ( pk. 10.40.14,98 GMT ) dengan rumus interpolasi sebagai berikut:
ARA( = ARA(1 + k ( ARA(2 – ARA(1 )
ARA(1 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = 1420 34’ 39”
ARA(2 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = 1430 06’ 33”
k ( selisih waktu ) = 00j 40m 14,98d
ARA( = 1420 34’ 39” + 00j 40m 14,98d x (1430 06’ 33”– 1420 34’ 39”)
= 1420 56’ 2,96”
G. Menentukan Sudut Waktu Bulan (t() pk.17.40.14,98 WIB (pk.10. 40.14,98 GMT ) dengan rumus sebagai berikut:
t( = ARA0 + t0 - ARA(
= 1470 12’ 34,9” + 910 7’ 44,73” - 1420 56’ 2,96”
= 950 24’ 16,67”
H. Menentukan deklinasi Bulan ( d( ) pk. 17.40.14,98 WIB (10.40.14,98 GMT) dengan menggunakan rumus interpolasi sebagai berikut:
d( = d(1 + k (d(2 -d(1 )
d(1 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = 090 32’ 53”
d(2 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = 090 21’ 50”
k ( selisih waktu ) = 00j 40m 14,98d
d( = 090 32’ 53” + 00j 40m 14,98d x (090 21’ 50”- 090 32’ 53”)
= 090 25’ 28,24"
I. Menentukan Tinggi Bulan Hakiki ( h’( ) dengan menggunakan rumus:
Sin h( = sin fx sin d( + cos fx cos d( cos t( .
Sin h( = sin -60 59’ 23” x sin 090 25’ 28,24" + cos -60 59’ 23” x cos 090 25’ 28,24" x cos 950 24’ 16,67”
h( = -060 26’ 22,11 ( tinggi hilal hakiki )
Karena tinggi hilal hakiki yang dihasilkan masih minus, maka dapat dipastikan tinggi hilal mar’i juga minus (hilal masih berada di bawah ufuk). Hal ini berarti awal Syawal 1433 jatuh pada hari Sabtu Wage, tanggal 18 Agustus 2012.[9]
D.    Kesimpulan
Dari penjabaran diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa hisab hakiki merupakan metode hisab atau perhitungan yang berdasarkan pada pergerakan real bulan sehingga menyebabkan jumlah hari pada setiap bulannya tidak konstan akan tetapi bergantung pada hilal (new month). Hisab  hakiki sendiri memiliki tiga buah metode, yakni hisab hakiki taqribi, metode hisab hakiki tahkiki, dan metode hisab hakiki kontemporer. Setiap metode ini jelas berpatokan pada perhitungan gerak realnya bulan namun berbeda dalam beberapa hal.


Penutup
            Demikian uraian yang dapat kami paparkan dalam makalah ini Dan kami menyadari bahwa didalamnya masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu apabila terdapat kesalahan baik dalam tulisan, komentar, atau referensinya yang kurang sesuai kami sangat mengharapkan kebesaran hati para pembaca, dosen pembimbing, teman-teman seperjuangan untuk menyampaikan kritik, saran, dan komentar yang bersifat konstruktif positif demi kesempurnaan makalah ini. Semoga melalui media ini, mudah-mudahan Allah memberikan manfaat, taufik, dan hidayahnya kepada kita semua. Amin.



DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Noor KH, 1986,  Nurul Anwar, Kudus: Madrasah TBS, Juz I.
Khazin, Mukhyiddin, 2004, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktik, Yogyakarta:     Buana Pustaka.
Al-Fadani, Syekh Yasin, t.th, Mukhtasor Al-Muhadzab, Mekah:  Maktabah             Muhammad     Sholeh Ahmad Mansyur Al-Baz.
Murtadho, Moh, 2008,  Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN-Malang Press.




[1] Syekh yasin al-fadani, mukhtasor al-muhadzab, (mekah: maktabah muhammad sholeh Ahmad mansyur Al-baz, t.t.h) hal. 14
[2] http://jayusmanfalak.blogspot.com/2010/01/kh-noor-ahmad-ss.html(diacses pada 09/10/2010)
[3] Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, 2008, Malang: UIN-Malang Press, hal. 227
[4] Mukhyiddin Khazin, ilmu falak dalam teori dan praktik,(Yogyakarta: buana pustaka. 2004), hal. 112.
[5] Syekh yasin al-fadani, loc. Cit,
[7] KH. Noor Ahmad ss, Nurul anwar, juz I, jepara: Madrasah TBS, 1986, hal. 6.
                [9]http://chusnulfalaker.blogspot.com/2010/02/hisab-awal-bulan-qomariyah.html (diacses 14/10/2010)

Sistem Penanggalan Hijriyah Metode Hisab Hakiki
02.22 | Author: Hasan Al Faraby

Sistem Penanggalan Hijriyah
Metode Hisab Hakiki

Pendahuluan
Demi mengikuti perkembangan zaman bahkan sejak dahulu kala manusia telah menjadikan patokan waktu sebagai sebuah hal yang sangat urgen, bagaimana tidak dalam menjalankan kewajibannya manusia khususnya umat islam yang dituntut untuk melakukan ibadah sesuai dengan waktu yang telah di tentukan oleh Allah Swt. Oleh karena itu umat islam  membuat sebuah penanggalan untuk mempermudah kehidupan mereka yang disebut dengan kalender hijriyah. Nama ini didasarkan pada sejarah  awal kemunculan penanggalan ini, yakni perhitungannya yang dimulai sejak  Rasulullah Muhammad SAW dan para shahabatnya berhijrah dari Makkah ke Madinah.[1]
            Kalender hijrah menggunakan sistem perhitungan bulan (qamariyah), yang ditandai dengan  munculnya bulan sabit (Arab, al-hilal, ahillah). Berbeda dengan kalender Masehi yang menggunakan dasar perhitungan sistem matahari (syamsiyah). periode dari bulan sabit ke sabit berikutnya disebut satu bulan. Lamanya 29,5 hari. Satu hari kalender hijrah, dihitung dari waktu matahari terbenam sampai terbenam lagi hari esoknya. Satu tahun qamariyah terdiri atas 354 hari 8 jam 48 menit, dengan hadirnya 12 kali bulan sabit, yang kembali ke fase baru disempurnakan 354,36708 hari. Kelebihan 0,36708 hari dijumlahkan 30 tahun ada 11 hari. Artinya, tahun qamariyah lebih pendek 11 hari dibandingkan tahun syamsiyah.



A.    pengertian
1.      Hisab Hakiki
Hisab hakiki adalah sistem penanggalan yang berpedoman pada pergerakan real bulan. Sistem ini dikategorikan sebagai sistem penanggalan astronomical calendar, karena didasarkan pada realitas fenomena astronomi yang terjadi. Jumlah hari setiap bulannya tidak bersifat tetap atau konstan namun bukan pula tidak beraturan akan tetapi tergantung pada posisi hilal yang sebenarnya pada akhir suatu bulan.[2]
Inilah bagian di antara karakteristik takwim hijriah yang berdasarkan hisab hakiki dan yang membedakannya dengan penanggalan yang berdasarkan pada hisab urfi. Takwim hijriah yang berdasarkan hisab hakiki inilah yang disepakati oleh para ulama untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan ibadah dalam Islam.
2.      Definisi Hisab Kontemporer
            Hisab kontemporer atau hisab hakiki tadqiqi merupakan suatu sistem hisab yang menggunakan perhitungan dengan berdasar pada data-data astronomi modern. Sistem hisab ini menggunakan hasil penelitian terakhir dan menggunakan matematika yang telah dikembangkan. Metodenya sama dengan metode hisab hakiki tahqiqi. Hanya saja sistem koreksinya lebih teliti dan lebih cermat, seperti dengan memperluas dan menambahkan koreksi-koreksi pada gerak bulan dan matahari dengan rumus-rumus spherical trigonmetri (segitiga bola)[3]
B.     sejarah perkembangan
1.    Sejarah Penanggalan Hijriyah
            Pada awalnya yang mengusulkan perlunya Kalender Muslimin adalah Ya’la bin Umayyah, gubernur Yaman masa Khalifah Abu Bakar al-Shidiq, tetapi belum dapat diwujudkan. Gubernur Basrah (Irak), Abu Musa al-Asy’ari mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Khathhab, “Kami telah menerima banyak surat dari Amir al-Mu’minin, dan kami tidak tahu mana yang harus dilakukan. Kami telah membaca satu perbuatan yang bertanggal Sya’ban, tetapi kami tidak tahu Sya’ban mana yang dimaksudkan (Sya’ban sekarang atau Sya’ban yang akan datang?), agar tidak terjadi persoalan semacam ini lagi maka diciptakanlah penanggalan hijriyah. Atas usul Ali bin Abi Thalib maka penanggalan hijriyah dihitung dari tahun yang di dalamnya terjadi hijrahnya Nabi dari mekah ke madinah. Dengan demikian keberlakuan penanggalan hijriyah tersebut diberlakukan mundur sebanyak 17 tahun.[4]
            Pada awalnya terjadi perselisihan terhadap penentuan awal penanggalan ini. Untuk memutuskan keberadaan dan kapan pantasnya penanggalan ini diberlakukan, para sahabat bemusyawarah pada hari Rabu tanggal 20 Jumadil awal tahun 17  H. Dalam perundingan tersebut sebenarnya terdapat beberapa option yang bisa dijadikan patokan awal tahun hijriyah, seperti tahun kelahiran nabi dan saat beliau diangkat menjadi rasul, namun para sahabat bersepakat menetapkan awal tahun  hijriyah adalah tahun dimana di dalamnya terdapat peristiwa hijrahnya nabi dari mekah ke madinah. Kemudian para sahabat juga menetapkan bulan muharram sebagai awal dari tahun hijriyah karena pada bulan inilah orang arab pulang dari berhaji.[5]
2.    Sejarah Metode Hisab
            Kendati sama rnengacu pada perhitungan siklus peredaran Bulan mengelilingi Bumi, tetapi dalam implementasinya dikenal adanya dua sistem hisab dalam penyusunan kalender qamariyah, yakni Hisab Urfi dan Hisab Hakiki.
a.Hisab Urfi
            Dalam sistem Hisab Urfi, kalender qamariyah disusun berdasarkan masa peredaraan rata-rata Bulan mengelilingi Bumi, yakni 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (masa yang berlalu di antara dua ijtimak yang berurutan, atau satu bulan Sinodis). Berdasarkan perhitungan ini, maka satu tahun (12 bulan) dihitung sama dengan 354 hari 8 jam 48 menit 36 detik (354 11/30 hari).
            Karena terdapat angka pecahan sebesar 11/30 hari, maka untuk menghilangkannya sistem ini membuat siklus 30 tahunan dalam kalender qamariyah yang terdiri dari 19 tahun Basitah (354 hari) dan 11 tahun Kabisat (355 hari). Tahun-tahun Kabisat (tahun panjang) dalam siklus 30 tahun tersebut jatuh pada urutan ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, 29. Umur bulan dalam sistem ini dibikin tetap, yakni 30 hari untuk buJan-bulan ganjil dan 29 hari untuk bulan-bulan genap (kecuali bulan ke 12 pada tahun-tahun Kabisat berumur 30 hari).
            Dengan sistem ini, awal bulan-bulan qamariyah di segenap belahan Bumi akan selalu jatuh pada hari yang sama. Tetapi karena mengesampingkan variabel penampakan hilal, maka dalam kerangka penentuan waktu untuk pelaksanaan hukum syari'at- sistem ini tidak banyak dianut oleh kaum muslimin.

b. Hisab Hakiki
Dalam sistem Hisab Hakiki, kalender qamariyah disusun berdasarkan masa peredaraan Bulan yang sebenarnya (hakiki). Karena itu, panjang masa yang berlalu di antara dua ijtimak berurutan (satu bulan sinodis) tidak selalu sama setiap bulan. Kadang hanya 29 hari lebih 6 jam dan beberapa menit, dan kadang sampai 29 hari lebih 19 jam dan beberapa menit. Berkaitan dengan ini, maka umur bulan yang selalu tetap seperti dalam Hisab 'Urfi tidak dikenal dalam sistem ini. Boleh jadi 29 hari berturut-turut, atau 30 hari berturut-turut.
            Dalam praktiknya, sistem ini menyusun kalender dengan memperhitungkan posisi Bulan. Karena itu untuk penentuan waktu-waktu ibadah sistem Hisab Hakiki ini banyak dianut oleh kaum muslimin. Berbagai metode hisab banyak dikembangkan pada alur sistem ini. Dari segi akurasinya, metode-metode hisab tersebut lazim dikategorikan menjadi tiga, yakni Taqribi, Tahqiqi dan Kontemporer.
1.      Metode hisab hakiki Taqribi
menentukan derajat ketinggian Bulan pasca ijtimak berdasarkan perhitungan yang sifatnya kurang-lebih, yakni membagi dua selisih waktu antara saat ijtimak dengan saat terbenam Matahari. Metoda hisab Sullamun Nayyirain, Fathur Rauf al-Mannan dan sejenisnya dipandang masuk dalam kategori ini.
2.      Metode hisab hakiki Tahqiqi
 menentukan derajat ketinggian Bulan pasca ijtimak dengan memanfaatkan perhitungan ilmu ukur segitiga bola. Metoda hisab Badi'atul Mitsal, Khulashatul Wafiyah dan sejenisnya dihitung masuk dalam kategori ini.
3.      Metode hisab hakiki kontemporer
 sama dengan Tahqiqi dalam cara menentukan derajat ketinggian Bulan. Bedanya, hisab Kontemporer mengacu pada data astronomis yang selalu diperbaharui atau dikoreksi dengan penemuan-penemuan terbaru. Metode hisab Jean Meus, Almanak Nautika dan sejenisnya dianggap masuk dalam kategori ini.
Perbedaan hasil penentuan awal bulan sangat riskan terjadi karena disebabkan oleh beberapa factor yakni; Pertama, karena perbedaan akurasi perhitungan antara metode-metode hisab Taqribi, Tahqiqi, dan Kontemporer itu tadi. Kedua, karena perbedaan pandangan mengenai acuan penentunya apakah ijtimak (konjungsi) sebelum terbenam Matahari, atau posisi Bulan di atas ufuk secara mutlak, ataukah posisi Bulan di atas ufuk yang telah memenuhi syarat imkan rukyah (visible). Ketiga, karena perbedaan posisi tempat di berbagai belahan Bumi (perbedaan matla')[6]





C.    penanggalan hijriyah berdasarkan hisab hakiki
Sistem penanggalan hijriah yang biasa dijadikan acuan dalam hal ibadah adalah kalender yang berdasarkan perhitungan metode hisab hakiki. Hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Berikut ini kita akan melihat beberapa konsep yang terkait dengan penanggalan Islam yang berdasarkan hisab Hakiki:
1. Umur Bulan
Menurut sistem ini umur bulan tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.
Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam sistem penetapan kalender urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu.
Kalender hijriah dikategorikan sebagai sistem penanggalan astronomical calendar, karena didasarkan pada realitas fenomena astronomi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan kalender masehi yang hanya didasarkan pada aturan numerik (rata-rata perhitungan fenomena astronominya), sehingga disebut juga dengan aritmathical calendar.

2. Permulaan Hari
Dalam kalender hijriah, sebuah hari atau tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari setiap harinya. Penentuan awal bulan bulan baru ditandai dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib setelah terjadinya konjungsi atau ijtimak. Ketika masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang baru, terjadinya pergantian tanggal dan sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya.
Dalam ilmu astronomi, pergantian atau permulaan hari berlangsung saat posisi Matahari berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00 malam. Ini yang dijadikan patokan dalam kalender yang berbasiskan peredaran Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian atau permulaan hari dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat terbenamnya Matahari.
Penanggalan hijriah yang berdasarkan atas astronomical fenomena ini tidak mengenal tahun kabisat yang berjumlah 11 tahun dalam setiap 30 tahun satu daur sebagaimana yang terdapat dalam penanggalan Qamariah yang berdasarkan hisab urfi. Inilah penanggalan atau kalender hijriah yang didasarkan pada perhitungan hisab hakiki yang berbeda dengan kalender yang didasarkan pada perhitungan  hisab urfi.
3. New Month (Bulan Baru)
Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya pada posisi hilal.
KH Noor Ahmad SS menyatakan ijtimak konjungsi iqtiran pangkreman yaitu apabila Matahari dan Bulan berada pada kedudukan/bujur astronomi yang sama. Dalam astronomi dikenal dengan istilah konjungsi (conjunction) dan dalam bahasa Jawa disebut pangkreman. Ijtimak dalam ilmu hisab dikenal juga dengan istilah ijtimak an-nayyirain.[7]
Dalam kitab Nur al-Anwar dijelaskan bahwa ijtimak itu adakalanya terjadi setelah Matahari terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum matahari terbenam. Ijtimak setelah Matahari terbenam, posisi hilal masih di bawah ufuk dan pasti tidak dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam ada tiga kemungkinan, yaitu:
a. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan mungkin bisa dirukyah.
b. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan tidak mungkin bisa dirukyah
c. Hilal belum wujud di atas ufuk/masih di bawah ufuk dan pasti tidak mungkin bisa dirukyah.[8]
Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak.
Sedangkan kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai.
Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset. Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung.
4. Hilal
Hilal (bulan sabit pertama yang bisa diamati setelah konjungsi) digunakan sebagai penentu waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Nampaknya karena alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan inilah kelebihan tahun Kamariah. Ini berbeda dengan kalender Syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya.
            Pendefinisian hilal bisa beragam karena ia merupakan bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu definisi yang komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian prosen. Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal terkait dengan penentuan awal bulan (new month). Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok atau ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah (imkanu rukyah) menurut sebagian kelompok yang lain, maka esok harinya adalah tanggal satu bulan yang baru.

LANGKAH-LANGKAH DAN CONTOH HISAB HAKIKI SISTIM EPHEMERIS UNTUK AWAL SYAWAL 1433 H.
DENGAN MARKAZ MENARA MASJID AGUNG
JAWA TENGAH
(BT. 1100 26’ 38”, f = -60 59’ 23”, h = 95 M)

A. Lakukan konversi dari Hijriyah ke Masehi 29 Ramadhan 1433 H. dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Sampai dengan akhir Zulhijjah 1432H.
1432 : 30 = 47 DH = 47 x 10631 = 499.657h
sisanya = 22 tahun = 22 x 354 + 8 (k) = 7.796h
2. . Akhir Zulhijjah 1437 H. s/d. 29 Rmdh. 1432 H. = 265h
Jumlah = 507.718h
3. Perbedaan Hijriyah – Masehi = 227.012 h +
Jumlah = 734.730h : 1461
4.. = 502 DM. ( 502 x 1461 ) = 733.422h -
sisa = 1.308h : 365
5. = 3 th M ( 3 X 365 ) = 1.095h -
sisa = 213h
6. Tahun 1 M + 502 x 4 + 3 th = Th. 2012 M.
7. Anggaran Consili dan Gregorius ( 3+10 + 3 ) = 16h +
Jumlah = 229h : 30
8. = 7 (Juli 2012) jumlah hari akhir Juli 2012 M = 213h-
sisa = 16h
9. = sisa 16 adalah 16 Agustus 2012 M.

Berarti menurut Hisab Urfi 29 Ramadhan 1433 H. bertepatan hari Kamis Pahing tanggal 16 Agustus 2012 M.
Hari dan pasarannya adalah Kamis Pahing (pengecekan dengan tabel Almanak Sepanjang Masa-oleh Slamet Hambali). Antara hisab urfi dengan hisab hakiki kadangkala bersamaan kadang kala mendahului satu hari
B. Menentukan terjadinya ijtima’ akhir Ramadhan 1433 H. yang diperkirakan terjadi antara tanggal 16 atau 17 Agustus 2012 M. Dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Perhatikan Fraction Illumination (cahaya bulan) terkecil dari Ephemeris 2012 pada bulan Agustus, pada tanggal 16 dan 17 Agustus 2012 M. Cahaya bulan terendah diperoleh pada tanggal 17 Agustus 2012 M. pk. 15 GMT, pk. 16 GMT dan pk. 17 GMT. yaitu 0,00191 kemudian 0.00190 dan 0.00192 Setelah itu perhatikan Ecliptic Longitude Matahari (EL) dan Apparent Longitude Bulan (AL) pada jam-jam tersebut dan pilih yang cocok, yaitu yang pertama AL harus lebih kecil dari EL dan yang kedua AL harus lebih besar dari EL. Dalam hal ini ternyata ijtima’ terjadi antara pukul 15 GMT dan 16 GMT atau antara pk.22 WIB dan pk. 23 WIB.
JAM GMT EL AL
15 1450 06’ 02” 1440 36’ 59”
16 1450 08’ 26” 1450 10’ 36”
Kemudian lakukan interpolasi dengan rumus sebagai berikut:
IJTIMA’ = J1 + ((EL1 – AL1) ¸ ((AL2 – AL1) – (EL2 – EL1)))
= pk. 15 + ((1450 06’ 02”– 1440 36’ 59”) ¸ ((1450 10’ 36” - 1440 36’ 59”) – (1450 08’ 26” - 1450 06’ 02”)))
= pk. 15. 55. 50.13 GMT + 7j
= pk. 22. 55. 50.13 WIB
Berarti IJTIMA’ akhir Ramadhan 1433 H. terjadi hari Jum’at Pon, tanggal 17 Agustus 2012 M. pk. 22. 55. 50.13 WIB
C. Menentukan terbenam Matahari di Menara Masjid Agung Jawa Tengah pada tanggal 29 Ramadhan 1433 H./17 Agustus 2012 M. dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Hitung tinggi Matahari saat terbenam ( h0 ) dengan rumus:
h0 = - ( ku + ref + sd )
ku adalah kerendahan ufuk dapat diperoleh dengan rumus:
- ku = 00 1’.76 Ö h
= 00 1’.76 Ö 95 m
= 00 17’ 09,26
- ref = 00 34’(refraksi/pembiasan tertinggi saat ghurub)
- sd = 00 16’ semi diameter matahari rata-rata.
h0 = - ( ku + ref + sd )
= - ( 00 17’ 09”.26 + 00 34’ + 00 16’ )
= - 10 7’ 9,26’’
2. Tentukan deklinasi matahari ( d0 ) dan equation of time ( e ) pada tanggal 29 Ramadhan 1433 H./ 17 Agustus 2012 M. saat ghurub di Menara Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang dengan prakiraan (taqriby) maghrib kurang lebih pk. 18 WIB ( 11 GMT ), diperoleh:
d0 = +130 12’ 26” dan e = - 00j 3m 59d.
3. Tentukan sudut waktu matahari (t0) prakiraan (taqriby) saat terbenam dengan rumus:
Cos t0 = sin h0 ¸ cos fx ¸ cos d0 - tan fx tan d0 .
= sin -10 7’ 9,26 ¸ cos -60 59’ 23” ¸ cos 130 12’ 26”– tan-60 59’ 23”x tan 130 12’ 26”
t0 = 890 30’ 34,69”
= +5j 58m 2,31”
4. Terbenam matahari = pk. 12 + (+5j 58m 2,31d)
= pk. 17. 58. 2,31 WH – e + ( BTd –BTx )
= pk.17. 58.2,31 – (-00j 3m 59d) + (1050-1100 26’ 38”):15
= pk. 17. 40. 14,78 WIB.
5. Tentukan deklinasi matahari ( d0 ) dan equation of time ( e ) pada tanggal 29 Ramadhan 1433 H./ 17 Agustus 2012 M. saat ghurub di Menara Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang yang sesungguhnya (hakiki), yaitu pk. 17. 40. 14,78 WIB dengan melakukan interpolasi sebagai berikut:
6. Deklinasi matahari ( d0 ) pk. 17. 40. 14,78 WIB. dengan rumus :
d0 = d01 + k (d02 -d01 )
d01 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = +130 13’ 14”
d02 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = +130 12’ 26”
k ( selisih waktu ) = 00j 40m 14.78d
d( = +130 13’ 14”+ 00j 40m 14.78d x (130 12’ 26”- 130 13’ 14”)
= +130 12’ 41,8”
7. Equation of Time ( e ) pk. 17. 40. 14,78 WIB. dengan rumus:
e = e1 + k (e2 - e1 )
e1 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = - 00j 03m 60d
e2 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = - 00j 03m 59d
k ( selisih waktu ) = 00j 40m 14.78d
e = -00j 03m 60d + 00j 40m 14.78d x (- 00j 03m 59d –(-00j 03m 60d))
= -0j 03m 59,33”
8. Tentukan sudut waktu matahari ( t0 ) sesungguhnya ( hakiki ), saat terbenam dengan rumus:
Cos t0 = sin h0 ¸ cos fx ¸ cos d0 - tan fx tan d0 .
= sin-10 7’ 9,26” ¸ cos -60 59’ 23” ¸ cos 130 12’ 41,8” –
tan-60 59’ 23” x tan 130 12’ 41,8”
t0 = 890 30’ 32,72’’
= +5j 58m 2,18 d
9. Terbenam matahari = pk. 12 + (+5j 58m 2,18 d )
= pk. 17. 58. 02,18 WH – e + ( BTd –BTx ) : 15
= pk. 17. 58. 02,18 – (-0j 03m 59,33”) + (1050-1100 26’ 38” ) : 15
= pk. 17. 40. 14,98 WIB.
D. Menghitung Azimuth Matahari ( Az0 ) saat ghurub pk. 17. 41. 50 Wib ( pk. 10. 41. 50 GMT ) dengan rumus:
Cotan A0 = tan d0 cos fx : sin t – sin fx : tan t0.
= tan 130 12’ 41,8”x cos -60 59’ 23” ¸ sin 890 30’ 32,72’’ – sin -60 59’ 23” ¸ tan 890 30’ 32,72’’
A0 = 760 49’ 33,8’’ ( UB )
Azimuth Matahari ( Az0 ) = 3600 - 760 49’ 33,8’’
= 2830 10’ 26,2”
E. Menentukan Right Ascension Matahari (ARA0) pk.17.40.14,98 WIB (pk. 10. 40. 14,98 GMT ) dengan rumus interpolasi sebagai berikut:
ARA0 = ARA01 + k ( ARA02 – ARA01 )
ARA01 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = 1470 11’ 01”
ARA02 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = 1470 13’ 21”
k ( selisih waktu ) = 00j 40m 14,98d
ARA0 = 1470 11’ 01” + 00j 40m 14,98d x (1470 13’ 21” - 1470 11’ 01”)
= 1470 12’ 34,9”
F. Menentukan Right Acsension Bulan ( ARA( ) pk. 17.40.14,98 WIB ( pk. 10.40.14,98 GMT ) dengan rumus interpolasi sebagai berikut:
ARA( = ARA(1 + k ( ARA(2 – ARA(1 )
ARA(1 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = 1420 34’ 39”
ARA(2 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = 1430 06’ 33”
k ( selisih waktu ) = 00j 40m 14,98d
ARA( = 1420 34’ 39” + 00j 40m 14,98d x (1430 06’ 33”– 1420 34’ 39”)
= 1420 56’ 2,96”
G. Menentukan Sudut Waktu Bulan (t() pk.17.40.14,98 WIB (pk.10. 40.14,98 GMT ) dengan rumus sebagai berikut:
t( = ARA0 + t0 - ARA(
= 1470 12’ 34,9” + 910 7’ 44,73” - 1420 56’ 2,96”
= 950 24’ 16,67”
H. Menentukan deklinasi Bulan ( d( ) pk. 17.40.14,98 WIB (10.40.14,98 GMT) dengan menggunakan rumus interpolasi sebagai berikut:
d( = d(1 + k (d(2 -d(1 )
d(1 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = 090 32’ 53”
d(2 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = 090 21’ 50”
k ( selisih waktu ) = 00j 40m 14,98d
d( = 090 32’ 53” + 00j 40m 14,98d x (090 21’ 50”- 090 32’ 53”)
= 090 25’ 28,24"
I. Menentukan Tinggi Bulan Hakiki ( h’( ) dengan menggunakan rumus:
Sin h( = sin fx sin d( + cos fx cos d( cos t( .
Sin h( = sin -60 59’ 23” x sin 090 25’ 28,24" + cos -60 59’ 23” x cos 090 25’ 28,24" x cos 950 24’ 16,67”
h( = -060 26’ 22,11 ( tinggi hilal hakiki )
Karena tinggi hilal hakiki yang dihasilkan masih minus, maka dapat dipastikan tinggi hilal mar’i juga minus (hilal masih berada di bawah ufuk). Hal ini berarti awal Syawal 1433 jatuh pada hari Sabtu Wage, tanggal 18 Agustus 2012.[9]
D.    Kesimpulan
Dari penjabaran diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa hisab hakiki merupakan metode hisab atau perhitungan yang berdasarkan pada pergerakan real bulan sehingga menyebabkan jumlah hari pada setiap bulannya tidak konstan akan tetapi bergantung pada hilal (new month). Hisab  hakiki sendiri memiliki tiga buah metode, yakni hisab hakiki taqribi, metode hisab hakiki tahkiki, dan metode hisab hakiki kontemporer. Setiap metode ini jelas berpatokan pada perhitungan gerak realnya bulan namun berbeda dalam beberapa hal.


Penutup
            Demikian uraian yang dapat kami paparkan dalam makalah ini Dan kami menyadari bahwa didalamnya masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu apabila terdapat kesalahan baik dalam tulisan, komentar, atau referensinya yang kurang sesuai kami sangat mengharapkan kebesaran hati para pembaca, dosen pembimbing, teman-teman seperjuangan untuk menyampaikan kritik, saran, dan komentar yang bersifat konstruktif positif demi kesempurnaan makalah ini. Semoga melalui media ini, mudah-mudahan Allah memberikan manfaat, taufik, dan hidayahnya kepada kita semua. Amin.



DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Noor KH, 1986,  Nurul Anwar, Kudus: Madrasah TBS, Juz I.
Khazin, Mukhyiddin, 2004, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktik, Yogyakarta:     Buana Pustaka.
Al-Fadani, Syekh Yasin, t.th, Mukhtasor Al-Muhadzab, Mekah:  Maktabah             Muhammad     Sholeh Ahmad Mansyur Al-Baz.
Murtadho, Moh, 2008,  Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN-Malang Press.




[1] Syekh yasin al-fadani, mukhtasor al-muhadzab, (mekah: maktabah muhammad sholeh Ahmad mansyur Al-baz, t.t.h) hal. 14
[2] http://jayusmanfalak.blogspot.com/2010/01/kh-noor-ahmad-ss.html(diacses pada 09/10/2010)
[3] Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, 2008, Malang: UIN-Malang Press, hal. 227
[4] Mukhyiddin Khazin, ilmu falak dalam teori dan praktik,(Yogyakarta: buana pustaka. 2004), hal. 112.
[5] Syekh yasin al-fadani, loc. Cit,
[7] KH. Noor Ahmad ss, Nurul anwar, juz I, jepara: Madrasah TBS, 1986, hal. 6.
                [9]http://chusnulfalaker.blogspot.com/2010/02/hisab-awal-bulan-qomariyah.html (diacses 14/10/2010)