Sistem
Penanggalan Hijriyah
Metode
Hisab Hakiki
Pendahuluan
Demi mengikuti perkembangan zaman bahkan sejak dahulu kala manusia
telah menjadikan patokan waktu sebagai sebuah hal yang sangat urgen, bagaimana
tidak dalam menjalankan kewajibannya manusia khususnya umat islam yang dituntut
untuk melakukan ibadah sesuai dengan waktu yang telah di tentukan oleh Allah
Swt. Oleh karena itu umat islam membuat
sebuah penanggalan untuk mempermudah kehidupan mereka yang disebut dengan
kalender hijriyah. Nama ini didasarkan pada sejarah awal kemunculan penanggalan ini, yakni
perhitungannya yang dimulai sejak Rasulullah Muhammad SAW dan para shahabatnya
berhijrah dari Makkah ke Madinah.[1]
Kalender hijrah
menggunakan sistem perhitungan bulan (qamariyah), yang ditandai dengan munculnya bulan sabit (Arab, al-hilal,
ahillah). Berbeda dengan kalender Masehi yang menggunakan dasar perhitungan sistem
matahari (syamsiyah). periode dari bulan sabit ke sabit berikutnya disebut satu
bulan. Lamanya 29,5 hari. Satu hari kalender hijrah, dihitung dari waktu
matahari terbenam sampai terbenam lagi hari esoknya. Satu tahun qamariyah
terdiri atas 354 hari 8 jam 48 menit, dengan hadirnya 12 kali bulan sabit, yang
kembali ke fase baru disempurnakan 354,36708 hari. Kelebihan 0,36708 hari
dijumlahkan 30 tahun ada 11 hari. Artinya, tahun qamariyah lebih pendek 11 hari
dibandingkan tahun syamsiyah.
A.
pengertian
1.
Hisab Hakiki
Hisab hakiki adalah sistem penanggalan yang berpedoman
pada pergerakan real bulan. Sistem ini dikategorikan sebagai sistem
penanggalan astronomical calendar, karena didasarkan pada realitas
fenomena astronomi yang terjadi. Jumlah hari setiap bulannya tidak bersifat
tetap atau konstan namun bukan pula tidak beraturan akan tetapi tergantung pada
posisi hilal yang sebenarnya pada akhir suatu bulan.[2]
Inilah bagian di antara karakteristik takwim
hijriah yang berdasarkan hisab hakiki dan yang membedakannya dengan penanggalan
yang berdasarkan pada hisab urfi. Takwim hijriah yang berdasarkan hisab
hakiki inilah yang disepakati oleh para ulama untuk dijadikan pedoman dalam
pelaksanaan ibadah dalam Islam.
2.
Definisi Hisab Kontemporer
Hisab kontemporer
atau hisab hakiki tadqiqi merupakan suatu sistem hisab yang menggunakan
perhitungan dengan berdasar pada data-data astronomi modern. Sistem hisab ini
menggunakan hasil penelitian terakhir dan menggunakan matematika yang telah
dikembangkan. Metodenya sama dengan metode hisab hakiki tahqiqi. Hanya saja
sistem koreksinya lebih teliti dan lebih cermat, seperti dengan memperluas dan
menambahkan koreksi-koreksi pada gerak bulan dan matahari dengan rumus-rumus spherical
trigonmetri (segitiga bola)[3]
B.
sejarah perkembangan
1.
Sejarah Penanggalan Hijriyah
Pada awalnya yang mengusulkan perlunya
Kalender Muslimin adalah Ya’la bin Umayyah, gubernur Yaman masa Khalifah Abu
Bakar al-Shidiq, tetapi belum dapat diwujudkan. Gubernur Basrah (Irak), Abu
Musa al-Asy’ari mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Khathhab, “Kami telah
menerima banyak surat dari Amir al-Mu’minin, dan kami tidak tahu mana yang
harus dilakukan. Kami telah membaca satu perbuatan yang bertanggal Sya’ban,
tetapi kami tidak tahu Sya’ban mana yang dimaksudkan (Sya’ban sekarang atau
Sya’ban yang akan datang?), agar tidak terjadi persoalan semacam ini lagi maka
diciptakanlah penanggalan hijriyah. Atas usul Ali bin Abi Thalib maka
penanggalan hijriyah dihitung dari tahun yang di dalamnya terjadi hijrahnya
Nabi dari mekah ke madinah. Dengan demikian keberlakuan penanggalan hijriyah
tersebut diberlakukan mundur sebanyak 17 tahun.[4]
Pada awalnya
terjadi perselisihan terhadap penentuan awal penanggalan ini. Untuk memutuskan
keberadaan dan kapan pantasnya penanggalan ini diberlakukan, para sahabat bemusyawarah
pada hari Rabu tanggal 20 Jumadil awal tahun 17
H. Dalam perundingan tersebut sebenarnya terdapat beberapa option yang
bisa dijadikan patokan awal tahun hijriyah, seperti tahun kelahiran nabi dan
saat beliau diangkat menjadi rasul, namun para sahabat bersepakat menetapkan
awal tahun hijriyah adalah tahun dimana
di dalamnya terdapat peristiwa hijrahnya nabi dari mekah ke madinah. Kemudian
para sahabat juga menetapkan bulan muharram sebagai awal dari tahun hijriyah
karena pada bulan inilah orang arab pulang dari berhaji.[5]
2. Sejarah Metode
Hisab
Kendati sama
rnengacu pada perhitungan siklus peredaran Bulan mengelilingi Bumi, tetapi
dalam implementasinya dikenal adanya dua sistem hisab dalam penyusunan kalender
qamariyah, yakni Hisab Urfi dan Hisab Hakiki.
a.Hisab Urfi
Dalam sistem Hisab
Urfi, kalender qamariyah disusun berdasarkan masa peredaraan rata-rata Bulan
mengelilingi Bumi, yakni 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (masa yang berlalu di
antara dua ijtimak yang berurutan, atau satu bulan Sinodis). Berdasarkan
perhitungan ini, maka satu tahun (12 bulan) dihitung sama dengan 354 hari 8 jam
48 menit 36 detik (354 11/30 hari).
Karena terdapat
angka pecahan sebesar 11/30 hari, maka untuk menghilangkannya sistem ini
membuat siklus 30 tahunan dalam kalender qamariyah yang terdiri dari 19 tahun
Basitah (354 hari) dan 11 tahun Kabisat (355 hari). Tahun-tahun Kabisat (tahun
panjang) dalam siklus 30 tahun tersebut jatuh pada urutan ke 2, 5, 7, 10, 13,
16, 18, 21, 24, 26, 29. Umur bulan dalam sistem ini dibikin tetap, yakni 30
hari untuk buJan-bulan ganjil dan 29 hari untuk bulan-bulan genap (kecuali
bulan ke 12 pada tahun-tahun Kabisat berumur 30 hari).
Dengan sistem ini,
awal bulan-bulan qamariyah di segenap belahan Bumi akan selalu jatuh pada hari
yang sama. Tetapi karena mengesampingkan variabel penampakan hilal, maka dalam
kerangka penentuan waktu untuk pelaksanaan hukum syari'at- sistem ini tidak
banyak dianut oleh kaum muslimin.
b. Hisab Hakiki
Dalam sistem Hisab Hakiki, kalender qamariyah disusun berdasarkan
masa peredaraan Bulan yang sebenarnya (hakiki). Karena itu, panjang masa yang
berlalu di antara dua ijtimak berurutan (satu bulan sinodis) tidak selalu sama
setiap bulan. Kadang hanya 29 hari lebih 6 jam dan beberapa menit, dan kadang
sampai 29 hari lebih 19 jam dan beberapa menit. Berkaitan dengan ini, maka umur
bulan yang selalu tetap seperti dalam Hisab 'Urfi tidak dikenal dalam sistem
ini. Boleh jadi 29 hari berturut-turut, atau 30 hari berturut-turut.
Dalam praktiknya,
sistem ini menyusun kalender dengan memperhitungkan posisi Bulan. Karena itu
untuk penentuan waktu-waktu ibadah sistem Hisab Hakiki ini banyak dianut oleh
kaum muslimin. Berbagai metode hisab banyak dikembangkan pada alur sistem ini.
Dari segi akurasinya, metode-metode hisab tersebut lazim dikategorikan menjadi
tiga, yakni Taqribi, Tahqiqi dan Kontemporer.
1.
Metode
hisab hakiki Taqribi
menentukan derajat ketinggian Bulan
pasca ijtimak berdasarkan perhitungan yang sifatnya kurang-lebih, yakni membagi
dua selisih waktu antara saat ijtimak dengan saat terbenam Matahari. Metoda
hisab Sullamun
Nayyirain, Fathur Rauf al-Mannan dan
sejenisnya dipandang masuk dalam kategori ini.
2. Metode hisab hakiki Tahqiqi
menentukan derajat ketinggian Bulan pasca
ijtimak dengan memanfaatkan perhitungan ilmu ukur segitiga bola. Metoda hisab Badi'atul
Mitsal, Khulashatul Wafiyah dan sejenisnya
dihitung masuk dalam kategori ini.
3. Metode hisab hakiki kontemporer
sama dengan Tahqiqi dalam cara menentukan
derajat ketinggian Bulan. Bedanya, hisab Kontemporer mengacu pada data
astronomis yang selalu diperbaharui atau dikoreksi dengan penemuan-penemuan
terbaru. Metode hisab Jean Meus, Almanak
Nautika dan sejenisnya dianggap masuk dalam kategori ini.
Perbedaan hasil penentuan awal bulan
sangat riskan terjadi karena disebabkan oleh beberapa factor yakni; Pertama,
karena perbedaan akurasi perhitungan antara metode-metode hisab Taqribi,
Tahqiqi, dan Kontemporer itu tadi. Kedua, karena perbedaan pandangan
mengenai acuan penentunya apakah ijtimak (konjungsi) sebelum terbenam Matahari,
atau posisi Bulan di atas ufuk secara mutlak, ataukah posisi Bulan di atas ufuk
yang telah memenuhi syarat imkan rukyah (visible). Ketiga, karena perbedaan posisi
tempat di berbagai belahan Bumi (perbedaan matla')[6]
C.
penanggalan hijriyah berdasarkan hisab hakiki
Sistem penanggalan hijriah yang
biasa dijadikan acuan dalam hal ibadah adalah kalender yang berdasarkan
perhitungan metode hisab hakiki. Hisab hakiki adalah sistem hisab yang
didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Berikut ini kita akan
melihat beberapa konsep yang terkait dengan penanggalan Islam yang berdasarkan
hisab Hakiki:
1. Umur Bulan
Menurut sistem ini umur bulan
tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi
hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua
puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu
berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua
ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada
awal bulan tersebut.
Sistem ini tentu saja berbeda
dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam sistem penetapan kalender urfi
yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi
Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap
bulannya. Bulan yang ganjil gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang
genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai
bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal
dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu.
Kalender
hijriah dikategorikan sebagai sistem penanggalan astronomical calendar,
karena didasarkan pada realitas fenomena astronomi yang terjadi. Hal ini
berbeda dengan kalender masehi yang hanya didasarkan pada aturan numerik
(rata-rata perhitungan fenomena astronominya), sehingga disebut juga dengan aritmathical
calendar.
2. Permulaan Hari
Dalam
kalender hijriah, sebuah hari atau tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari
setiap harinya. Penentuan awal bulan bulan baru ditandai dengan munculnya hilal
di ufuk Barat waktu Magrib setelah terjadinya konjungsi atau ijtimak. Ketika
masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang baru, terjadinya
pergantian tanggal dan sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya.
Dalam
ilmu astronomi, pergantian atau permulaan hari berlangsung saat posisi Matahari
berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00 malam. Ini yang
dijadikan patokan dalam kalender yang berbasiskan peredaran Matahari (Solar
Calendar). Sementara itu pergantian atau permulaan hari dalam penanggalan
Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat terbenamnya Matahari.
Penanggalan hijriah yang
berdasarkan atas astronomical fenomena ini tidak mengenal tahun kabisat
yang berjumlah 11 tahun dalam setiap 30 tahun satu daur sebagaimana yang
terdapat dalam penanggalan Qamariah yang berdasarkan hisab urfi. Inilah
penanggalan atau kalender hijriah yang didasarkan pada perhitungan hisab hakiki
yang berbeda dengan kalender yang didasarkan pada perhitungan hisab urfi.
3. New Month (Bulan Baru)
Dalam
penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan
ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu
ditentukan oleh terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya pada
posisi hilal.
KH
Noor Ahmad SS menyatakan ijtimak konjungsi iqtiran pangkreman
yaitu apabila Matahari dan Bulan berada pada kedudukan/bujur astronomi yang
sama. Dalam astronomi dikenal dengan istilah konjungsi (conjunction) dan
dalam bahasa Jawa disebut pangkreman. Ijtimak dalam ilmu hisab
dikenal juga dengan istilah ijtimak an-nayyirain.[7]
Dalam
kitab Nur al-Anwar dijelaskan bahwa ijtimak itu adakalanya terjadi
setelah Matahari terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum matahari
terbenam. Ijtimak setelah Matahari terbenam, posisi hilal masih di bawah ufuk
dan pasti tidak dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi sebelum matahari
terbenam ada tiga kemungkinan, yaitu:
a. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan mungkin bisa dirukyah.
b. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan tidak mungkin bisa dirukyah
c. Hilal belum wujud di atas ufuk/masih di bawah ufuk dan pasti
tidak mungkin bisa dirukyah.[8]
Kelompok
yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum
Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah
mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah
atau tidak.
Sedangkan
kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari
terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam
itulah perhitungan bulan baru dimulai.
Keduanya
sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari
terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk.
Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan
memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset.
Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan
apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan
baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari
bulan yang sedang berlangsung.
4. Hilal
Hilal (bulan sabit
pertama yang bisa diamati setelah konjungsi) digunakan sebagai penentu waktu
ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan
penentu waktu ibadah yang baik. Nampaknya karena alasan kemudahan dalam
penentuan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan
bentuk (fase) bulan inilah kelebihan tahun Kamariah. Ini berbeda dengan
kalender Syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan
(konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan
hariannya.
Pendefinisian
hilal bisa beragam karena ia merupakan bagian dari riset ilmiah, semua definisi
itu semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi
parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu definisi yang
komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal
adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari
terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan
teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi
bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka
panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian
derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam
bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian prosen. Penting artinya
perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal terkait dengan
penentuan awal bulan (new month). Jika hilal telah wujud di atas ufuk
menurut kriteria sebagian kelompok atau ketinggian hilal telah memenuhi
kriteria visibilitas untuk dirukyah (imkanu rukyah) menurut sebagian
kelompok yang lain, maka esok harinya adalah tanggal satu bulan yang baru.
LANGKAH-LANGKAH DAN CONTOH HISAB HAKIKI SISTIM EPHEMERIS UNTUK AWAL SYAWAL 1433 H.
DENGAN MARKAZ MENARA MASJID AGUNG
JAWA TENGAH
(BT. 1100 26’ 38”, f = -60 59’ 23”, h = 95 M)
A. Lakukan konversi dari Hijriyah ke Masehi 29 Ramadhan 1433 H. dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Sampai dengan akhir Zulhijjah 1432H.
1432 : 30 = 47 DH = 47 x 10631 = 499.657h
sisanya = 22 tahun = 22 x 354 + 8 (k) = 7.796h
2. . Akhir Zulhijjah 1437 H. s/d. 29 Rmdh. 1432 H. = 265h
Jumlah = 507.718h
3. Perbedaan Hijriyah – Masehi = 227.012 h +
Jumlah = 734.730h : 1461
4.. = 502 DM. ( 502 x 1461 ) = 733.422h -
sisa = 1.308h : 365
5. = 3 th M ( 3 X 365 ) = 1.095h -
sisa = 213h
6. Tahun 1 M + 502 x 4 + 3 th = Th. 2012 M.
7. Anggaran Consili dan Gregorius ( 3+10 + 3 ) = 16h +
Jumlah = 229h : 30
8. = 7 (Juli 2012) jumlah hari akhir Juli 2012 M = 213h-
sisa = 16h
9. = sisa 16 adalah 16 Agustus 2012 M.
Berarti menurut Hisab Urfi 29 Ramadhan 1433 H. bertepatan hari Kamis Pahing tanggal 16 Agustus 2012 M.
Hari dan pasarannya adalah Kamis Pahing (pengecekan dengan tabel Almanak Sepanjang Masa-oleh Slamet Hambali). Antara hisab urfi dengan hisab hakiki kadangkala bersamaan kadang kala mendahului satu hari
B. Menentukan terjadinya ijtima’ akhir Ramadhan 1433 H. yang diperkirakan terjadi antara tanggal 16 atau 17 Agustus 2012 M. Dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Perhatikan Fraction Illumination (cahaya bulan) terkecil dari Ephemeris 2012 pada bulan Agustus, pada tanggal 16 dan 17 Agustus 2012 M. Cahaya bulan terendah diperoleh pada tanggal 17 Agustus 2012 M. pk. 15 GMT, pk. 16 GMT dan pk. 17 GMT. yaitu 0,00191 kemudian 0.00190 dan 0.00192 Setelah itu perhatikan Ecliptic Longitude Matahari (EL) dan Apparent Longitude Bulan (AL) pada jam-jam tersebut dan pilih yang cocok, yaitu yang pertama AL harus lebih kecil dari EL dan yang kedua AL harus lebih besar dari EL. Dalam hal ini ternyata ijtima’ terjadi antara pukul 15 GMT dan 16 GMT atau antara pk.22 WIB dan pk. 23 WIB.
JAM GMT EL AL
15 1450 06’ 02” 1440 36’ 59”
16 1450 08’ 26” 1450 10’ 36”
Kemudian lakukan interpolasi dengan rumus sebagai berikut:
IJTIMA’ = J1 + ((EL1 – AL1) ¸ ((AL2 – AL1) – (EL2 – EL1)))
= pk. 15 + ((1450 06’ 02”– 1440 36’ 59”) ¸ ((1450 10’ 36” - 1440 36’ 59”) – (1450 08’ 26” - 1450 06’ 02”)))
= pk. 15. 55. 50.13 GMT + 7j
= pk. 22. 55. 50.13 WIB
Berarti IJTIMA’ akhir Ramadhan 1433 H. terjadi hari Jum’at Pon, tanggal 17 Agustus 2012 M. pk. 22. 55. 50.13 WIB
C. Menentukan terbenam Matahari di Menara Masjid Agung Jawa Tengah pada tanggal 29 Ramadhan 1433 H./17 Agustus 2012 M. dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Hitung tinggi Matahari saat terbenam ( h0 ) dengan rumus:
h0 = - ( ku + ref + sd )
ku adalah kerendahan ufuk dapat diperoleh dengan rumus:
- ku = 00 1’.76 Ö h
= 00 1’.76 Ö 95 m
= 00 17’ 09,26
- ref = 00 34’(refraksi/pembiasan tertinggi saat ghurub)
- sd = 00 16’ semi diameter matahari rata-rata.
h0 = - ( ku + ref + sd )
= - ( 00 17’ 09”.26 + 00 34’ + 00 16’ )
= - 10 7’ 9,26’’
2. Tentukan deklinasi matahari ( d0 ) dan equation of time ( e ) pada tanggal 29 Ramadhan 1433 H./ 17 Agustus 2012 M. saat ghurub di Menara Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang dengan prakiraan (taqriby) maghrib kurang lebih pk. 18 WIB ( 11 GMT ), diperoleh:
d0 = +130 12’ 26” dan e = - 00j 3m 59d.
3. Tentukan sudut waktu matahari (t0) prakiraan (taqriby) saat terbenam dengan rumus:
Cos t0 = sin h0 ¸ cos fx ¸ cos d0 - tan fx tan d0 .
= sin -10 7’ 9,26 ¸ cos -60 59’ 23” ¸ cos 130 12’ 26”– tan-60 59’ 23”x tan 130 12’ 26”
t0 = 890 30’ 34,69”
= +5j 58m 2,31”
4. Terbenam matahari = pk. 12 + (+5j 58m 2,31d)
= pk. 17. 58. 2,31 WH – e + ( BTd –BTx )
= pk.17. 58.2,31 – (-00j 3m 59d) + (1050-1100 26’ 38”):15
= pk. 17. 40. 14,78 WIB.
5. Tentukan deklinasi matahari ( d0 ) dan equation of time ( e ) pada tanggal 29 Ramadhan 1433 H./ 17 Agustus 2012 M. saat ghurub di Menara Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang yang sesungguhnya (hakiki), yaitu pk. 17. 40. 14,78 WIB dengan melakukan interpolasi sebagai berikut:
6. Deklinasi matahari ( d0 ) pk. 17. 40. 14,78 WIB. dengan rumus :
d0 = d01 + k (d02 -d01 )
d01 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = +130 13’ 14”
d02 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = +130 12’ 26”
k ( selisih waktu ) = 00j 40m 14.78d
d( = +130 13’ 14”+ 00j 40m 14.78d x (130 12’ 26”- 130 13’ 14”)
= +130 12’ 41,8”
7. Equation of Time ( e ) pk. 17. 40. 14,78 WIB. dengan rumus:
e = e1 + k (e2 - e1 )
e1 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = - 00j 03m 60d
e2 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = - 00j 03m 59d
k ( selisih waktu ) = 00j 40m 14.78d
e = -00j 03m 60d + 00j 40m 14.78d x (- 00j 03m 59d –(-00j 03m 60d))
= -0j 03m 59,33”
8. Tentukan sudut waktu matahari ( t0 ) sesungguhnya ( hakiki ), saat terbenam dengan rumus:
Cos t0 = sin h0 ¸ cos fx ¸ cos d0 - tan fx tan d0 .
= sin-10 7’ 9,26” ¸ cos -60 59’ 23” ¸ cos 130 12’ 41,8” –
tan-60 59’ 23” x tan 130 12’ 41,8”
t0 = 890 30’ 32,72’’
= +5j 58m 2,18 d
9. Terbenam matahari = pk. 12 + (+5j 58m 2,18 d )
= pk. 17. 58. 02,18 WH – e + ( BTd –BTx ) : 15
= pk. 17. 58. 02,18 – (-0j 03m 59,33”) + (1050-1100 26’ 38” ) : 15
= pk. 17. 40. 14,98 WIB.
D. Menghitung Azimuth Matahari ( Az0 ) saat ghurub pk. 17. 41. 50 Wib ( pk. 10. 41. 50 GMT ) dengan rumus:
Cotan A0 = tan d0 cos fx : sin t – sin fx : tan t0.
= tan 130 12’ 41,8”x cos -60 59’ 23” ¸ sin 890 30’ 32,72’’ – sin -60 59’ 23” ¸ tan 890 30’ 32,72’’
A0 = 760 49’ 33,8’’ ( UB )
Azimuth Matahari ( Az0 ) = 3600 - 760 49’ 33,8’’
= 2830 10’ 26,2”
E. Menentukan Right Ascension Matahari (ARA0) pk.17.40.14,98 WIB (pk. 10. 40. 14,98 GMT ) dengan rumus interpolasi sebagai berikut:
ARA0 = ARA01 + k ( ARA02 – ARA01 )
ARA01 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = 1470 11’ 01”
ARA02 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = 1470 13’ 21”
k ( selisih waktu ) = 00j 40m 14,98d
ARA0 = 1470 11’ 01” + 00j 40m 14,98d x (1470 13’ 21” - 1470 11’ 01”)
= 1470 12’ 34,9”
F. Menentukan Right Acsension Bulan ( ARA( ) pk. 17.40.14,98 WIB ( pk. 10.40.14,98 GMT ) dengan rumus interpolasi sebagai berikut:
ARA( = ARA(1 + k ( ARA(2 – ARA(1 )
ARA(1 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = 1420 34’ 39”
ARA(2 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = 1430 06’ 33”
k ( selisih waktu ) = 00j 40m 14,98d
ARA( = 1420 34’ 39” + 00j 40m 14,98d x (1430 06’ 33”– 1420 34’ 39”)
= 1420 56’ 2,96”
G. Menentukan Sudut Waktu Bulan (t() pk.17.40.14,98 WIB (pk.10. 40.14,98 GMT ) dengan rumus sebagai berikut:
t( = ARA0 + t0 - ARA(
= 1470 12’ 34,9” + 910 7’ 44,73” - 1420 56’ 2,96”
= 950 24’ 16,67”
H. Menentukan deklinasi Bulan ( d( ) pk. 17.40.14,98 WIB (10.40.14,98 GMT) dengan menggunakan rumus interpolasi sebagai berikut:
d( = d(1 + k (d(2 -d(1 )
d(1 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = 090 32’ 53”
d(2 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = 090 21’ 50”
k ( selisih waktu ) = 00j 40m 14,98d
d( = 090 32’ 53” + 00j 40m 14,98d x (090 21’ 50”- 090 32’ 53”)
= 090 25’ 28,24"
I. Menentukan Tinggi Bulan Hakiki ( h’( ) dengan menggunakan rumus:
Sin h( = sin fx sin d( + cos fx cos d( cos t( .
Sin h( = sin -60 59’ 23” x sin 090 25’ 28,24" + cos -60 59’ 23” x cos 090 25’ 28,24" x cos 950 24’ 16,67”
h( = -060 26’ 22,11 ( tinggi hilal hakiki )
Karena tinggi hilal hakiki yang dihasilkan masih minus, maka dapat dipastikan tinggi hilal mar’i juga minus (hilal masih berada di bawah ufuk). Hal ini berarti awal Syawal 1433 jatuh pada hari Sabtu Wage, tanggal 18 Agustus 2012.[9]
D.
Kesimpulan
Dari penjabaran diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa hisab
hakiki merupakan metode hisab atau perhitungan yang berdasarkan pada pergerakan
real bulan sehingga menyebabkan jumlah hari pada setiap bulannya tidak konstan
akan tetapi bergantung pada hilal (new month). Hisab hakiki sendiri memiliki tiga buah metode,
yakni hisab hakiki taqribi, metode hisab hakiki tahkiki, dan metode hisab
hakiki kontemporer. Setiap metode ini jelas berpatokan pada perhitungan gerak
realnya bulan namun berbeda dalam beberapa hal.
Penutup
Demikian
uraian yang dapat kami paparkan dalam makalah ini Dan kami menyadari bahwa didalamnya masih terdapat
banyak kekurangan, untuk itu apabila terdapat kesalahan baik dalam tulisan,
komentar, atau referensinya yang kurang sesuai kami sangat mengharapkan
kebesaran hati para pembaca, dosen pembimbing, teman-teman seperjuangan untuk
menyampaikan kritik, saran,
dan komentar yang bersifat konstruktif positif demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga melalui media ini, mudah-mudahan Allah memberikan manfaat, taufik, dan
hidayahnya kepada kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Noor KH, 1986, Nurul
Anwar, Kudus: Madrasah TBS, Juz I.
Khazin, Mukhyiddin, 2004, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktik, Yogyakarta:
Buana Pustaka.
Al-Fadani, Syekh Yasin, t.th, Mukhtasor Al-Muhadzab,
Mekah: Maktabah Muhammad Sholeh Ahmad
Mansyur Al-Baz.
Murtadho, Moh, 2008, Ilmu
Falak Praktis, Malang: UIN-Malang Press.
[1]
Syekh yasin al-fadani, mukhtasor al-muhadzab, (mekah: maktabah muhammad sholeh
Ahmad mansyur Al-baz, t.t.h) hal. 14
[2] http://jayusmanfalak.blogspot.com/2010/01/kh-noor-ahmad-ss.html(diacses
pada 09/10/2010)
[3]
Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, 2008, Malang: UIN-Malang Press, hal. 227
[4] Mukhyiddin
Khazin, ilmu falak dalam teori dan praktik,(Yogyakarta: buana pustaka. 2004), hal.
112.
[5]
Syekh yasin al-fadani, loc. Cit,
[6] http://www.nu.or.id/page.php?lang=id
(diacses 09/10/2010).
[7] KH.
Noor Ahmad ss, Nurul anwar, juz I, jepara: Madrasah TBS, 1986, hal. 6.
[8] http://jayusmanfalak.blogspot.com.
Loc. Cit.
1 komentar:
penyebab perbedaan dalam agama adalah pemimpin umat yang belum memahami betul dalam agama tetapi dia berpendapat dalam hal agama sehingga kemajuan ilmu teknologi merubah sisi pandang dalam hal menentukan titik nol perjalanan bulan mengelilingi bimi. demi jelasnya baca rotasi bulan blogspot.com bakrisyam